cerita singkat soekarno
Riwayat
Singkat Soekarno
Presiden
pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di
Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya
bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa
hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri
Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh.
Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari
Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..
Masa kecil
Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD
hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said
Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan
sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah
menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke
Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi
yang sekarang menjadi IT. Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian,
beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional
lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya,
Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929.
Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia
Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih
maju itu.
Pembelaannya
itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan.
Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus
memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende,
Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah
melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI
tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang
disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad
Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus
1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia
yang pertama.
Sebelumnya,
beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar
(ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan
nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika,
dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang
kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.Pemberontakan G-30-S/PKI
melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas
pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat
Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia
meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan
di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah
menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”.
Nama:
Ir. Soekarno
Nama Panggilan:
Bung Karno
Nama Kecil:
Kusno Sosrodihardjo
Lahir:
Blitar, Jatim, 6 Juni 1901
Meninggal:
Jakarta, 21 Juni 1970
Makam:
Blitar, Jawa Timur
Gelar (Pahlawan):
Proklamator
Jabatan:
Presiden RI Pertama (1945-1966)
Isteri dan Anak:
Tiga isteri delapan anak
Isteri Fatmawati, anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh
Isteri Hartini, anak: Taufan dan Bayu
Isteri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto, anak: Kartika.
Ir. Soekarno
Nama Panggilan:
Bung Karno
Nama Kecil:
Kusno Sosrodihardjo
Lahir:
Blitar, Jatim, 6 Juni 1901
Meninggal:
Jakarta, 21 Juni 1970
Makam:
Blitar, Jawa Timur
Gelar (Pahlawan):
Proklamator
Jabatan:
Presiden RI Pertama (1945-1966)
Isteri dan Anak:
Tiga isteri delapan anak
Isteri Fatmawati, anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh
Isteri Hartini, anak: Taufan dan Bayu
Isteri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto, anak: Kartika.
Ayah:
Raden Soekemi Sosrodihardjo
Ibu:
Ida Ayu Nyoman Rai
Pendidikan:
HIS di Surabaya (indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam)
HBS (Hoogere Burger School) lulus tahun 1920
THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB) di Bandung lulus 25 Mei 1926
Raden Soekemi Sosrodihardjo
Ibu:
Ida Ayu Nyoman Rai
Pendidikan:
HIS di Surabaya (indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam)
HBS (Hoogere Burger School) lulus tahun 1920
THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB) di Bandung lulus 25 Mei 1926
Ajaran:
Marhaenisme
Marhaenisme
Kegiatan
Politik:
Mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927
Dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929
Bergabung memimpin Partindo (1931)
Dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Merumuskan Pancasila 1 Juni 1945
Bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945
Mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927
Dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929
Bergabung memimpin Partindo (1931)
Dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Merumuskan Pancasila 1 Juni 1945
Bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945
Bung Karno
Putra Sang Fajar
“Aku adalah
putra seorang ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idaju, berasal dari kasta
tinggi. Raja terakhir Singaraja adalah paman ibuku. Bapakku dari Jawa. Nama
lengkapnya adalah Raden Sukemi Sosrodihardjo. Raden adalah gelar bangsawan yang
berarti, Tuan. Bapak adalah keturunan Sultan Kediri…
Apakah itu
kebetulan atau suatu pertanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang memerintah,
akan tetapi apa pun kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian bagi
kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan tiba-tiba. Akulah ahli-warisnya.”
Ir. Soekarno menuturkan kepada penulis otobiografinya, Cindy Adam.
Putra sang fajar yang lahir di Blitar, 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai, diberi nama kecil, Koesno. Ir. Soekarno, 44 tahun kemudian, menguak fajar kemerdekaan Indonesia setelah lebih dari tiga setengah abad ditindas oleh penjajah-penjajah asing.
Soekarno hidup jauh dari orang tuanya di Blitar sejak duduk di bangku sekolah rakyat, indekos di Surabaya sampai tamat HBS (Hoogere Burger School). Ia tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Jiwa nasionalismenya membara lantaran sering menguping diskusi-diskusi politik di rumah induk semangnya yang kemudian menjadi ayah mertuanya dengan menikahi Siti Oetari (1921).
Soekarno pindah ke Bandung, melanjutkan pendidikan tinggi di THS (Technische Hooge-School), Sekolah Teknik Tinggi yang kemudian hari menjadi ITB, meraih gelar insinyur, 25 Mei 1926. Semasa kuliah di Bandung, Soekarno, menemukan jodoh yang lain, menikah dengan Inggit Ganarsih (1923).
Soekarno muda, lebih akrab dipanggil Bung Karno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia), 4 Juni 1927. Tujuannya, mendirikan negara Indonesia Merdeka. Akibatnya, Bung Karno ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman penjara oleh pemerintah Hindia Belanda. Ia dijeboloskan ke penjara Sukamiskin, Bandung, 29 Desember 1949.
Putra sang fajar yang lahir di Blitar, 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai, diberi nama kecil, Koesno. Ir. Soekarno, 44 tahun kemudian, menguak fajar kemerdekaan Indonesia setelah lebih dari tiga setengah abad ditindas oleh penjajah-penjajah asing.
Soekarno hidup jauh dari orang tuanya di Blitar sejak duduk di bangku sekolah rakyat, indekos di Surabaya sampai tamat HBS (Hoogere Burger School). Ia tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Jiwa nasionalismenya membara lantaran sering menguping diskusi-diskusi politik di rumah induk semangnya yang kemudian menjadi ayah mertuanya dengan menikahi Siti Oetari (1921).
Soekarno pindah ke Bandung, melanjutkan pendidikan tinggi di THS (Technische Hooge-School), Sekolah Teknik Tinggi yang kemudian hari menjadi ITB, meraih gelar insinyur, 25 Mei 1926. Semasa kuliah di Bandung, Soekarno, menemukan jodoh yang lain, menikah dengan Inggit Ganarsih (1923).
Soekarno muda, lebih akrab dipanggil Bung Karno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia), 4 Juni 1927. Tujuannya, mendirikan negara Indonesia Merdeka. Akibatnya, Bung Karno ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman penjara oleh pemerintah Hindia Belanda. Ia dijeboloskan ke penjara Sukamiskin, Bandung, 29 Desember 1949.
Di dalam
pidato pembelaannya yang berjudul, Indonesia Menggugat, Bung Karno berapi-api
menelanjangi kebobrokan penjajah Belanda.
Bebas tahun 1931, Bung Karno kemudian memimpin Partindo. Tahun 1933, Belanda menangkapnya kembali, dibuang ke Ende, Flores. Dari Ende, dibuang ke Bengkulu selama empat tahun. Di sanalah ia menikahi Fatwamati (1943) yang memberinya lima orang anak; Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rahmawati, Sukmawati dan Guruh Soekarnoputri.
Soekarno adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbitkan dengan judul Dibawah Bendera Revolusi, dua jilid. Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut, tulisan pertamanya (1926), berjudul, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxism, bagian paling menarik untuk memahami gelora muda Bung Karno.
Tahun 1942, tentara pendudukan Belanda di Indonesia menyerah pada Jepang. Penindasan yang dilakukan tentara pendudukan selama tiga tahun jauh lebih kejam. Di balik itu, Jepang sendiri sudah mengimingi kemerdekaan bagi
Indonesia.Penyerahan diri Jepang setelah dua kota utamanya, Nagasaki dan Hiroshima, dibom atom oleh tentara Sekutu, tanggal 6 Agustus 1945, membuka cakrawala baru bagi para pejuang Indonesia. Mereka, tidak perlu menunggu, tetapi merebut kemerdekaan dari Jepang.
Setelah persiapan yang cukup panjang, dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs Muhammad Hatta, mereka memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur No. 52 (sekarang Jln. Proklamasi), Jakarta.
Berdiri di Atas Kaki Sendiri
Bebas tahun 1931, Bung Karno kemudian memimpin Partindo. Tahun 1933, Belanda menangkapnya kembali, dibuang ke Ende, Flores. Dari Ende, dibuang ke Bengkulu selama empat tahun. Di sanalah ia menikahi Fatwamati (1943) yang memberinya lima orang anak; Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rahmawati, Sukmawati dan Guruh Soekarnoputri.
Soekarno adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbitkan dengan judul Dibawah Bendera Revolusi, dua jilid. Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut, tulisan pertamanya (1926), berjudul, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxism, bagian paling menarik untuk memahami gelora muda Bung Karno.
Tahun 1942, tentara pendudukan Belanda di Indonesia menyerah pada Jepang. Penindasan yang dilakukan tentara pendudukan selama tiga tahun jauh lebih kejam. Di balik itu, Jepang sendiri sudah mengimingi kemerdekaan bagi
Indonesia.Penyerahan diri Jepang setelah dua kota utamanya, Nagasaki dan Hiroshima, dibom atom oleh tentara Sekutu, tanggal 6 Agustus 1945, membuka cakrawala baru bagi para pejuang Indonesia. Mereka, tidak perlu menunggu, tetapi merebut kemerdekaan dari Jepang.
Setelah persiapan yang cukup panjang, dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs Muhammad Hatta, mereka memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur No. 52 (sekarang Jln. Proklamasi), Jakarta.
Berdiri di Atas Kaki Sendiri
Soekarno (Bung
Karno) Presiden Pertama Republik Indonesia, 1945- 1966, menganut ideologi
pembangunan ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Proklamator yang lahir di Blitar,
Jatim, 6 Juni 1901 ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara
kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan dengan bantuanmu.
Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI.
Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI.
Tokoh
pencinta seni ini memiliki slogan yang kuat menggantungkan cita-cita setinggi
bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur.
Ideologi pembangunan yang dianut pria yang berasal dari keturunan bangsawan
Jawa (Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, suku Jawa dan ibunya bernama
Ida Ayu Nyoman Rai, suku Bali), ini bila dilihat dari buku Pioneers in
Development, kira-kira condong menganut ideologi pembangunan yang dilahirkan
kaum ekonom yang tak mengenal kamus bahwa membangun suatu negeri harus mengemis
kepada Barat. Tapi bagi mereka, haram hukumnya meminta-minta bantuan asing.
Bersentuhan dengan negara Barat yang kaya, apalagi sampai meminta bantuan,
justru mencelakakan si melarat (negara miskin).
Bagi Bung
Karno, yang ketika kecil bernama Kusno, ini tampaknya tak ada kisah manis bagi
negara-negara miskin yang membangun dengan modal dan bantuan asing. Semua tetek
bengek manajemen pembangunan yang diperbantukan dan arus teknologi modern yang
dialihkan — agar si miskin jadi kaya dan mengejar Barat — hanyalah alat
pengisap kekayaan si miskin yang membuatnya makin terbelakang.
Itulah Bung
Karno yang berhasil menggelorakan semangat revolusi dan mengajak berdiri di
atas kaki sendiri bagi bangsanya, walaupun belum sempat berhasil membawa
rakyatnya dalam kehidupan yang sejahtera. Konsep “berdiri di atas kaki sendiri”
memang belum sampai ke tujuan tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggaan
pada eksistensi bangsa. Daripada berdiri di atas utang luar negeri yang
terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan (noekolonialisme).
Masa kecil
Bung Karno sudah diisi semangat kemandirian. Ia hanya beberapa tahun hidup
bersama orang tua di Blitar. Semasa SD hingga tamat, ia tinggal di Surabaya,
indekos di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri
Syarikat Islam. Kemudian melanjut di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar
di HBS itu ia pun telah menggembleng jiwa nasio-nalismenya. Selepas lulus HBS
tahun 1920, ia pindah ke Bandung dan me-lanjutkan ke THS (Technische
Hooge-school atau Sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia
berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian, ia
merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia)
pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, si
penjajah, menjebloskannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929.
Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul ‘Indonesia
Menggugat’, dengan gagah berani ia menelanjangi kebobrokan Belanda, bangsa yang
mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya
itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan.
Setelah bebas (1931), Bung Karno bergabung dengan Partindo dan sekaligus
memimpinnya. Akibatnya, ia kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende,
Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah
melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya, ia juga
berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Ia berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan ia
berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan
Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi
Gerakan Non Blok.
Pemberontakan
G-30-S/PKI melahirkan krisis politik sangat hebat. Ia pun tak mau membubarkan
PKI yang dituduh oleh mahasiswa dan TNI sebagai dalang kekejaman pembunuh para
jenderal itu. Suasana politik makin kacau. Sehingga pada 11 Maret 1966 ia
mengeluarkan surat perintah kepada Soeharto untuk mengendalikan situasi, yang
kemudian dikenal dengan sebutan Supersemar. Tapi, inilah awal kejatuh-annya.
Sebab Soeharto menggunakan Supersemar itu membubarkan PKI dan merebut simpati
para politisi dan mahasiswa serta ‘merebut’ kekuasaan. MPR mengukuhkan
Supersemar itu dan menolak pertanggungjawaban Soekarno serta mengangkat
Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
Kemudian
Bung Karno ‘dipenjarakan’ di Wisma Yaso, Jakarta. Kesehatannya terus memburuk.
Akhirnya, pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia
disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur di
dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar
Revolusi ini meninggalkan 8 orang anak. Dari Fatmawati mendapatkan lima anak
yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Dari Hartini mendapat
dua anak yaitu Taufan dan Bayu. Sedangkan dari Ratna Sari Dewi, wanita turunan
Jepang bernama asli Naoko Nemoto mendapatkan seorang putri yaitu Kartika.
Orator Ulung
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
“Aku ini
bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena
rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” kata Bung Karno, dalam karyanya
‘Menggali Api Pancasila’. Suatu ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator
besar.
Gejala
berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak
orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan
dengan kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam autobiografi, karangan-karangan
dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya.
Ia adalah
seorang cen-dekiawan yang meninggal-kan ratusan karya tulis dan beberapa naskah
dra-ma yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan
tulisannya sudah diterbit-kan dengan judul “Diba-wah Bendera Revolusi”, dua
jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena
mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno.
Dari buku
setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang bermula dari tahun
1926, dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling
menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami
Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun.
Di tengah
kebesarannya, sang orator ulung dan penulis piawai, ini selalu membutuhkan
dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup.
Di akhir
masa kekuasaannya, ia sering merasa kesepian. Dalam autobio-grafinya yang
disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat itu, bercerita.
“Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap.
Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku
seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio
datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil,
ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai
politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah…. Untuk pertama kali dalam hidupku
aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”
Dalam bagian
lain disebutkan, “Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya
seperti suatu pengasingan yang terpencil… Seringkali pikiran oranglah yang
berubah-ubah, bukan pikiranmu… Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di
sekelilingmu.”
Anti
Imperialisme
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme.
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme.
“Perjuangan
dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari
belenggu kolonialisme, telah berlangsung dari generasi ke generasi selama
berabad-abad. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan
itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih
berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?”
pekik Soekarno ketika itu.
Hebatnya,
meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta
cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di
Amerika Serikat (AS).
Pidato itu
menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa
mudanya antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933, semangat antikolonialisme
dan anti-imperialisme itu sudah jelas dikedepankannya.
Sangat jelas
dan tegas ingatan kolektif dari pahitnya kolonialisme yang dilakukan negara
asing yang kaya itu. Namun, kata dan fakta adalah dua hal yang berbeda, dan tak
jarang saling bertolak belakang.
Soekarno dan
para penggagas nasionalisme lainnya dipaksa bergulat di antara “kata” dan
“fakta” politik yang dicoba dirajut namun ternyata tidak mudah, dan tak jarang
menemui jalan buntu.
Soekarno
yang rajin berkata-kata, antara lain mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum
nasionalis, agama dan komunis (1926) menemukan kenyataan yang sama sekali
bertolak belakang, ketika ia mencobanya menjadi fakta. Begitu pula gagasan
besarnya yang lain: marhaenisme, atau nasionalisme marhaenistis, yang matang
dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan, gagasannya mengenai Pancasila.
Tokoh
Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.
Akan tetapi,
di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida
adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari
gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang
di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu sebagai,
“lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana
min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari
permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).
Tatkala
memuncak ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status Palestina
ketika itu, pers sensasional Arab menyambut Bung Karno, “Juara untuk
kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci Vatikan
memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik yang mayoritas
Muslim itu.
Memang,
pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas tidak hanya untuk negerinya namun
juga negeri lain. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab
yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno dianggap sebagai
pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri ia kerap dipandang lebih
sebagai kaum abangan daripada kaum santri.
Sebenarnya,
seberapa religiuskah Bung Karno? Bukankah ia juga dalam konsepsi Pancasila
merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
majemuk dan mengakui lima agama. Bagaimana mungkin merangkum visi lima agama
itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau si pembuat kalimat tidak
memahami konteks kehidupan beragama di Indonesia secara benar?
Dalam hal
ini elok dikutip pendapat Clifford Geertz Islam Observed (1982): “Gaya religius
Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak? Kepada Louise Fischer,
Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di
mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya
ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya, ungkapan
semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in Modern
Indonesia (1982)- “hanya merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian
besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur,
ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran
yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bidah”.
Sistem
Politik
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.
Lalu ia
mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam berpolitik Soekarno mementingkan politik
mobilisasi massa, ia bersimpati pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan
mungkin sebagai salah satu konsekuensinya, penerimaannya pada Partai Komunis
Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah, pendukung konsepsi demokrasi
terpimpin. Jadi ia mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan
curiga pada pluralisme politik. Ia mementingkan “persatuan” demi “revolusi”.
Pada tahun
1950-an, Indonesia memang ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan
oleh sistem demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan
didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Pemilu 1955-yang
dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI),
Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI- hingga kini masih dianggap sebagai pemilu
paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia.
Namun, di sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering
jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah
juga mencatat bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai
gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.
Kenyataan
ini membuat Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap
Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara
Soekarno Menggugat
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara
Soekarno Menggugat
Tidak banyak
diketahui umum bahwa tahun 1965-1967 Presiden Soekarno sempat berpidato paling
sedikit sebanyak 103 kali. Yang diingat orang hanyalah pidato
pertanggungjawabannya, Nawaksara, yang ditolak MPRS tahun 1967. Dalam
memperingati 100 tahun Bung Karno, tahun 2001 telah diterbitkan kumpulan pidatonya.
Namun, hampir semuanya disampaikan sebelum peristiwa G30S 1965.
Kumpulan
naskah ini diawali pidato 30 September 1965 malam (di depan Musyawarah Nasional
Teknik di Istora Senayan, Jakarta) dan diakhiri pidato 15 Februari 1967
(pelantikan beberapa Duta Besar RI). Pidato-pidato Bung Karno (BK) selama dua
tahun itu amat berharga sebagai sumber sejarah. Ia mengungkapkan aneka hal yang
ditutupi bahkan diputarbalikkan selama Orde Baru. Dari pidato itu juga
tergambar betapa sengitnya peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.
Di pihak lain, terlihat pula kegetiran seorang presiden yang ucapannya tidak
didengar bahkan dipelintir. Soekarno marah. Ia memaki dalam bahasa Belanda.
Konteks
pidato
Periode
1965-1967 dapat dilihat sebagai masa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada
Soeharto. Dalam versi pemerintah, masa ini dilukiskan sebagai era konsolidasi
kekuatan pendukung Orde Baru (tentara, mahasiswa, dan rakyat) untuk membasmi
PKI sampai ke akarnya serta pembersihan para pendukung Soekarno.
Mulai tahun
1998 di Tanah Air dikenal beberapa versi sejarah yang berbeda. Selain
menonjolkan keterlibatan pihak asing seperti CIA, juga muncul tudingan terhadap
keterlibatan Soeharto dalam “kudeta merangkak”, yaitu rangkaian tindakan dari
awal Oktober 1965 sampai keluarnya Supersemar (Surat perintah 11 Maret 1966)
dan ditetapkannya Soeharto sebagai pejabat Presiden tahun 1967. “Kudeta
merangkak” terdiri dari beberapa versi (Saskia Wieringa, Peter Dale Scott, dan
Subandrio) dan beberapa tahap.
Substansi
pidato
Setelah peristiwa
G30S, Soekarno berusaha mengendalikan keadaan melalui pidato-pidatonya.
“Saya
komandokan kepada segenap aparat negara untuk selalu membina persatuan dan
kesatuan seluruh kekuatan progresif revolusioner. Dua, Menyingkirkan jauh-jauh
tindakan-tindakan destruktif seperti rasialisme, pembakaran-pembakaran, dan
perusakan-perusakan. Tiga, menyingkirkan jauh-jauh fitnahan-fitnahan dan
tindakan-tindakan atas dasar perasaan balas dendam.”
Ia juga
menyerukan “Awas adu domba antar-Angkatan, jangan mau dibakar. Jangan
gontok-gontokan. Jangan hilang akal. Jangan bakar-bakar, jangan ditunggangi”.
Dalam pidato ia menyinggung Trade Commission Republik Rakyat Tiongkok di Jati
Petamburan yang diserbu massa karena ada isu Juanda meninggal diracun dokter
RRT. Padahal, beliau wafat akibat serangan jantung. Soekarno menentang
rasialisme yang menjadikan warga Tionghoa sebagai kambing hitam.
Dalam pidato
20 November 1965 di depan keempat panglima Angkatan di Istana Bogor BK
mengatakan, “Ada perwira yang bergudul. Bergudul itu apa? Hei, Bung apa itu
bergudul? Ya, kepala batu.” Tampaknya ucapannya itu ditujukan kepada Soeharto.
Pada kesempatan yang sama Soekarno menegaskan, “Saya yang ditunjuk MPRS menjadi
Panglima Besar Revolusi. Terus terang bukan Subandrio. Bukan Leimena…. Bukan
engkau Soeharto, bukan engkau Soeharto, dan seterusnya (berbeda dengan nama
tokoh lain, Soeharto disebut dua kali dan secara berturut-turut).
Mengapa
Soekarno tak mau membubarkan PKI, padahal ini alasan utama kelompok Soeharto
menjatuhkannya dari presiden. Karena dia konsisten dengan pandangan sejak tahun
1925 tentang Nas (Nasionalisme), A (Agama), dan Kom (Komunisme). Dalam pidato
ia menegaskan, yang dimaksudkan dengan Kom bukanlah Komunisme dalam pengertian
sempit, melainkan Marxisme atau lebih tepat “Sosialisme”. Meskipun demikian
Soekarno bersaksi “saya bukan komunis”. Bung Karno juga mengungkapkan
keterlibatan pihak asing yang memberi orang Indonesia uang Rp 150 juta guna
mengembangkan “the free world ideology”. Ia berseru di depan diplomat asing di
Jakarta, “Ambassador jangan subversi.”
Tanggal 12
Desember 1965 ketika berpidato dalam rangka ulang tahun Kantor Berita Antara di
Bogor, Presiden mengatakan tidak ada kemaluan yang dipotong dalam peristiwa di
Lubang Buaya. Demikian pula tidak ada mata yang dicungkil seperti ditulis pers.
Peristiwa
pembantaian di Jawa Timur diungkapkan Soekarno dalam pidato di depan HMI di
Bogor 18 Desember 1965. Soekarno mengatakan pembunuhan itu dilakukan dengan
sadis, orang bahkan tidak berani menguburkan korban.
“Awas kalau
kau berani ngrumat jenazah, engkau akan dibunuh. Jenazah itu diklelerkan saja
di bawah pohon, di pinggir sungai, dilempar bagai bangkai anjing yang sudah
mati.”
Dalam
kesempatan sama, Bung Karno sempat bercanda di depan mahasiswa itu, “saya sudah
65 tahun meski menurut Ibu Hartini seperti baru 28 tahun. Saya juga melihat Ibu
Hartini seperti 21 tahun.”
Gaya bahasa
Soekarno memang khas. Ia tidak segan memakai kata kasar tetapi spontan. Beda
dengan Soeharto yang memakai bahasa halus tetapi tindakannya keras. Di tengah
sidang kabinet, di depan para Menteri, Presiden Soekarno tak segan mengatakan
“mau kencing dulu” jika ia ingin ke belakang . Ketika perintahnya tidak
diindahkan, ia berteriak “saya merasa dikentuti”. Pernah pula ia mengutip
cerita Sayuti Melik tentang kemaluannya yang ketembak. Namun, di lain pihak ia
mahir menggunakan kata-kata bernilai sastra, “Kami menggoyangkan langit,
menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang
hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe,
bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.”
Dalam pidato
30 September 1965 ia sempat mengkritik pers yang kurang tepat dalam menulis
nama anak-anaknya. Nama Megawati sebetulnya Megawati Soekarnaputri, bukan
Megawati Soekarnoputri. Demikian pula dengan Guntur Soekarnaputra.
Di balik
pidato
Apa yang
disampaikan Soekarno dalam pidato-pidatonya merupakan bantahan atas apa yang
ditulis media. Monopoli informasi sekaligus monopoli kebenaran adalah causa
prima dari Orde Baru. Umar Wirahadikusumah mengumumkan jam malam mulai 1
Oktober 1965, pukul 18.00 sampai 06.00 pagi, dan menutup semua koran kecuali
Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Koran-koran lain tidak boleh beredar
selama seminggu. Waktu sepekan ini dimanfaatkan pers militer untuk
mengampanyekan bahwa PKI ada di belakang G30S.
Meski masih
berpidato dalam berbagai kesempatan, pernyataan BK tidak disiarkan oleh
koran-koran. Bila Ben Anderson di jurnal Indonesia terbitan Cornell
mengungkapkan hasil visum et repertum dokter bahwa kemaluan jenderal tidak
disilet dalam pembunuhan di Lubang Buaya 1 Oktober 1965, jauh sebelumnya
Soekarno dengan lantang mengatakan, 100 silet yang dibagikan untuk menyilet
kemaluan jenderal itu tidak masuk akal.
Dalam pidatonya
terdengar keluhan. Misalnya, di Departemen P dan K orang-orang yang mendukung
BK dinonaktifkan. Sebetulnya seberapa drastiskah merosotnya kekuasaan yang
dipegangnya?
Presiden
Soekarno masih sempat melantik taruna AURI dan berpidato dalam peringatan 20
tahun KKO. Paling sedikit Angkatan Udara, Marinir, dan sebagian besar tentara
Kodam Brawijaya masih setia kepada Bung Karno. Tetapi kenapa ia hanya sekadar
berseru “jangan gontok-gontokan antarangkatan bersenjata”. Kenapa ia tidak
memerintahkan tentara yang loyal kepadanya untuk melawan pihak yang ingin
menjatuhkannya?
Soekarno
tidak ingin terjadi pertumpahan darah sesama bangsa. Dalam skala tertentu, yang
tidak diharapkan Bung Karno itu telah terjadi setelah ia meninggal . Demikian
pula yang kita lihat hari ini di Aceh. Sebuah wilayah yang pada tahun 1945 para
ulamanya menyerukan rakyat mereka untuk berdiri di belakang Bung Karno.
Bung Karno sebagai Guru Bangsa
Bung Karno sebagai Guru Bangsa
Oleh Baskara
T Wardaya
Di antara
banyak predikat yang telah diberikan kepada Bung Karno, patutlah kiranya pada
peringatan ulang tahunnya yang ke-102 ini ia juga dikenang sebagai guru bangsa.
Sebagai pencetus maupun komunikator, banyak pemikiran penting telah menjadi
sumbangan pendidikan tak terhingga bagi negara-bangsa ini.
Layaknya
seorang guru yang cakap, ia mampu menyampaikan gagasan-gagasan penting dengan
lancar, penuh imajinasi, dan komunikatif. Di tangannya, topik-topik bahasan
yang sebenarnya berat menjadi gampang dicerna, mudah dipahami masyarakat luas.
Ingat,
misalnya, saat secara berkala pada tahun 1958-1959 ia memberikan rangkaian
“kuliah” guna menjelaskan kembali sila demi sila dari Pancasila sebagai dasar
negara, masing-masing satu sila setiap kesempatan “tatap muka.” Pada 26 Mei
1958 ia memulai rangkaian itu dengan memberi kuliah tentang pengertian umum
Pancasila. Setelah menyampaikan penjelasan tentang berbagai bentuk kapitalisme
dan perlawanan terhadapnya, ia menekankan bahwa Pancasila bukan hanya merupakan
pandangan hidup, melainkan juga alat pemersatu bangsa.
Kuliah
pembukaan itu disusul kuliah-kuliah serupa lain yang biasanya diadakan di
Istana Negara dan disiarkan langsung melalui radio ke seluruh penjuru Tanah
Air. Berbeda dengan pidato-pidato Bung Karno di depan massa yang biasanya
berapi-api membakar semangat rakyat, kuliah-kuliah ini berjalan lebih rileks
dan komunikatif.
Dengan
kuliah-kuliah itu tampaknya Bung Karno ingin sekaligus mengingatkan, Istana
Negara bukan tempat sangar atau sakral yang hanya boleh dimasuki presiden dan
pejabat maha penting negeri ini, tetapi Istana milik rakyat, tempat masyarakat
belajar mengenai banyak hal, termasuk dasar negara. Ia ingin menjadikan Istana
(dan mungkin Indonesia umumnya) sebagai “ruang kuliah” di mana terselenggara
proses belajar-mengajar antara masyarakat dan pemimpinnya.
Teori dan praksis
Dari
teori-teori filsafat dan politik serta acuan-acuan historis yang digunakan
dalam mengurai sila-sila Pancasila, tampak pengetahuan Soekarno amat luas dan
dalam. Dalam uraian-uraiannya, tidak jarang ia menyitir pikiran Renan,
Confusius, Gandhi, atau Marx. Dengan begitu, ia seolah ingin menunjukkan dan
memberi contoh, tiap warga negara perlu terus memperluas pengetahuannya. Meski
ia sendiri sebenarnya dididik sebagai orang teknik, namun amat akrab dengan
ilmu-ilmu sosial, terutama filsafat, sejarah, politik, dan agama.
Dalam salah
satu kuliahnya Bung Karno menyinggung kembali pertemuan dan dialognya dengan
petani miskin Marhaen. Dialog sendiri sudah berlangsung jauh sebelumnya, tetapi
ia masih mampu mengingat dan menggambarkan amat jelas. Ini menandakan, Soekarno
menaruh perhatian pada perjumpaannya dengan wong cilik, rakyat jelata, dan
ingin menjadikannya sebagai titik tolak perjuangan bersama guna membebaskan
rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan. Baginya retorika
memperjuangkan rakyat yang tidak disertai perjumpaan-perjumpaan langsung dengan
rakyat adalah omong kosong.
Dengan kata
lain, sebagai guru bangsa ia tak suka hanya berkutat di dunia teori, tetapi
juga menceburkan diri ke realitas kehidupan sehari-hari bangsanya. Bung Karno
selalu berupaya keras mempertemukan “buku” dengan “bumi,” menatapkan
teori-teori sosial-politik dengan realitas keseharian manusia Indonesia yang
sedang ia perjuangkan.
Bung Karno
terus mempererat kaitan teori dan praksis, refleksi dan aksi. Mungkin inilah
salah satu faktor yang membedakannya dari pemimpin lain, baik yang sezamannya
maupun sesudahnya.
Perlu
diingat, lepas dari apakah orang setuju atau tidak dengan uraian dan
gagasannya, satu hal tak dapat diragukan tentang Soekarno: ia bukan seorang pejabat
yang korup. Sulit dibayangkan, Soekarno suka menduduki posisi-posisi tertentu
di pemerintahan karena ingin mencuri uang rakyat atau menumpuk kekayaan untuk
diri sendiri.
Perjuangan
Soekarno adalah perjuangan tulus, yang disegani bahkan oleh orang-orang yang
tak sepaham dengannya. Karena itu, tak mengherankan betapapun ruwetnya ekonomi
Indonesia di bawah pemerintahaannya, tak terlihat kecenderungan pejabat-pejabat
pemerintah di zaman itu yang tanpa malu korupsi atau berkongkalikong menjual
sumber-sumber alam milik rakyat.
Absennya
guru-guru lain
Bagaimanapun
juga, sebagai seorang manusia Bung Karno bukan tanpa kelemahan. Dalam
kapasitasnya sebagai pejabat negara, misalnya, ia tampak “menikmati” posisinya
sehingga ada kesan ia tak lagi menempatkan diri sebagai seorang pelayan publik
dalam tata masyarakat demokratis. Sebagai presiden seharusnya ia menyadari
kedudukannya sebagai seseorang yang menjabat sejauh rakyat memberi mandat
padanya, itu pun disertai batasan masa jabatan tertentu.
Rupanya Bung
Karno tidak terlalu menghiraukan hal itu. Karenanya ketika tahun 1963 diangkat
sebagai presiden seumur hidup, ia tidak menolak.
Sebagai
seorang guru yang memandang negerinya sebagai sebuah “ruang kuliah” raksasa dan
rekan-rekan sebangsanya sebagai “murid-murid” yang patuh, terkesan Bung Karno
tak memerlukan adanya “guru-guru” lain. Ia tak keberatan akan keberadaan
mereka, tetapi-sadar atau tidak-”gaya mengajar”-nya mendorong tokoh-tokoh lain
yang potensial untuk juga menjadi guru bangsa terpaksa menyingkir atau tersingkir.
Kita belum
lupa ketika pada 1 Desember 1956 Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan
Wakil Presiden. Kita juga masih ingat bagaimana orang-orang dekat Bung
Karno-seperti Sjahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka, Moh Natsir, dan
lainnya-satu per satu menjauh darinya.
Pada
pertengahan 1950-an rupanya perhatian Bung Karno yang begitu besar kepada
posisinya sendiri membuatnya kurang menyadari bahwa dampak Perang Dingin telah
kian jauh merasuki Indonesia. Kemenangan PKI dalam Pemilu 1955 dan pemilu daerah
tahun 1957, misalnya, telah benar-benar mempengaruhi perhatian dan kebijakan
para pelaku utama Perang Dingin terhadap Indonesia.
Di satu
pihak, Cina dan Uni Soviet menyambut kemenangan itu dengan gembira karena
menandakan kian meluasnya komunisme di Indonesia. Di lain pihak, bagi AS dan
sekutunya, kemenangan itu meningkatkan ketakutan mereka bahwa Indonesia akan
“lepas” dari lingkaran pengaruh Barat. Dalam pola pikiran teori domino,
lepasnya Indonesia akan berarti terancamnya kepentingan-kepentingan Barat di
Asia Tenggara.
Sedikit demi
sedikit panggung ketegangan pun dibangun. Tahun 1965-1966 panggung itu
dijadikan arena pertarungan berdarah antara PKI dan unsur-unsur bersenjata yang
didukung Barat. Bung Karno sadar, tetapi terlambat. Dengan gemetar ia terpaksa
menyaksikan ratusan ribu rakyat yang ia cintai dibantai secara terencana dan
brutal.
Sedikit demi
sedikit ia dijepit. Akhirnya guru bangsa yang besar ini disingkirkan dari
panggung kekuasaan. Ia pun wafat sebagai seorang tahanan politik yang miskin,
di negeri yang kemerdekaannya dengan gigih ia perjuangkan.
Akhir hidup
Bung Karno memang memilukan. Tetapi ajaran-ajarannya sebagai guru bangsa tetap
relevan dan penting untuk negara-bangsa ini. Orang dapat belajar tidak hanya
dari apa yang dikatakan, tetapi juga dari tindakan, berikut keunggulan dan
kelemahannya. Kita berharap kaum muda negeri ini tak jemu untuk terus belajar
dari sejarah, termasuk dari Bung Karno sebagai guru bangsa.



No comments:
Post a Comment